Lebih dari 95% lalu lintas internet global tidak melayang di awan, tapi berjalan melalui kabel serat optik yang membentang ribuan kilometer di dasar laut. Infrastruktur ini dulunya hanya dikelola oleh operator telekomunikasi dan pemerintah. Namun sekarang, perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Amazon, Meta, dan Microsoft mulai mendominasi pembangunan dan kepemilikan kabel bawah laut. Perubahan ini menggeser lanskap kekuasaan digital ke arah yang lebih politis.
Dilansir dari GizChina, proyek-proyek besar seperti kabel Equiano milik Google yang menghubungkan Eropa dan Afrika, bukan sekadar soal kecepatan internet. “Mereka tidak hanya meningkatkan infrastruktur—mereka mulai memilikinya,” tulis laporan tersebut.
Ketika perusahaan swasta punya kontrol atas jalur data global, muncul pertanyaan besar: siapa yang memutuskan siapa yang bisa terkoneksi, lewat jalur mana, dan berapa biayanya? Tak heran, pemerintah mulai melihat kabel ini sebagai aset strategis dan alat potensial dalam konflik geopolitik.
Sabotase dan Blokade Jadi Ancaman Nyata
Kasus gangguan kabel di Laut Merah pada awal 2024 memunculkan dugaan sabotase. Meski tidak ada aktor yang mengaku bertanggung jawab, insiden itu cukup untuk membuat negara-negara memperketat pengawasan atas kabel bawah laut. Beberapa pemerintah kini memasukkan infrastruktur digital ini ke dalam strategi keamanan nasional.
“Jika kamu mencabut nuklir dari opsi konflik, maka kontrol terhadap informasi jadi senjata utama,” ujar seorang analis keamanan yang dikutip dalam laporan Wired, salah satu media teknologi terkemuka.
AS Blokir China, China Bangun Jalur Sendiri
Amerika Serikat dan sekutunya telah melarang perusahaan Tiongkok seperti Huawei Marine untuk ikut serta dalam proyek kabel tertentu, dengan alasan risiko penyadapan. Sebagai respons, China membangun sistem paralel yang meminimalkan ketergantungan pada jalur barat. Hasilnya adalah pemisahan ekosistem digital global yang menyerupai masa Perang Dingin.
“Yang sedang terjadi sekarang adalah versi baru dari Perang Dingin, tapi bukan tentang senjata nuklir, melainkan data dan konektivitas,” tulis GizChina.
Apa Dampaknya untuk Negara Berkembang?
Bagi banyak negara berkembang, masuknya Big Tech dengan janji internet cepat dan murah memang menguntungkan. Namun di sisi lain, ketergantungan terhadap satu entitas swasta asing menciptakan kerentanan baru. Jika terjadi konflik politik atau pemblokiran teknis, maka konektivitas nasional bisa terganggu total.
Kabel bawah laut tidak lagi hanya soal teknologi, melainkan juga soal kedaulatan. Di tengah geopolitik global yang kian kompleks, siapa yang menguasai infrastruktur digital bisa menentukan siapa yang menang dalam perang informasi selanjutnya.
Leave a Comment